on 19 Oktober 2009

hama

PENGEMBANGAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU
Februari 26, 2009 · Tinggalkan sebuah Komentar

Warlinson Girsang

w-girsang2Staf Pengajar Fak. Pertanian USI



Pendahuluan

Teknologi pengendalian hama dengan mengandalkan pestisida, ternyata tidak selamanya mampu mengatasi masalah hama tanaman. Bahkan penggunaan pestisida bisa berdampak buruk bagi manusia, jasad bukan sasaran dan lingkungan hidup. Kenyataan tersebut menggugah kesadaran akan kebutuhan pengendalian yang baru, yang dapat mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida. Pendekatan pengendalian baru yang dikembangkan ialah pengendalian hama terpadu (PHT).

Konsepsi PHT semula diartikan secara terbatas sebagai kombinasi pengendalian hama secara hayati dan pengendalian hama secara kimiawi menggunakan pestisida. Tetapi teknik pengendalian kemudian dikembangkan dengan memadukan semua metode pengendalian hama yang dikenal. Termasuk didalamnya pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik, pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi dan pengendalian hama lainnya. Dengan cara ini, diharapkan ketergantungan petani terhadap pestisida dapat dikurangi.

Pengertian Pengendalian Hama Terpadu

Banyak ahli memberikan batasan tentang PHT secara beragam, tetapi pada dasarnya mengandung prinsip yang sama. Smith (1978) menyatakan PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Bottrell (1979) menekankan bahwa PHT adalah pemilihan secara cerdik dari penggunaan tindakan pengendalian hama, yang dapat menjamin hasil yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi, ekologi dan sosiologi. Sedangkan Kenmore (1989) memberikan definisi singkat PHT sebagai perpaduan yang terbaik. Yang dimaksud perpaduan terbaik ialah menggunakan berbagai metode pengendalian hama secara kompatibel. Sehingga melalui penerapan PHT, diharapkan kerusakan yang ditimbulkan hama tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan.

Dilihat dari segi operasional pengendalian hama dengan PHT dapat kita artikan sebagai pengendalian hama yang memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa, sehingga populasi hama dapat tetap berada di bawah aras kerusakan.

Sifat Dasar Pengendalian Hama Terpadu

Sifat dasar pengendalian hama terpadu berbeda dengan pengendalian hama secara konvensional yang saat ini masih banyak dipraktekkan. Dalam PHT, tujuan utama bukanlah pemusnahan, pembasmian atau pemberantasan hama. Melainkan berupa pengendalian populasi hama agar tetap berada di bawah aras yang tidak mengakibatkan kerugian secara ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi, melainkan pembatasan (containment). Program PHT mengakui bahwa ada suatu jenjang toleransi manusia terhadap populasi hama, atau terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hama. Dalam keadaan tertentu, adanya invidu serangga atau binatang kemungkinan berguna bagi manusia. Pandangan yang menyatakan bahwa setiap individu yang ada di lapangan harus diberantas, tidak sesuai dengan prinsip PHT.

Pengendalian hama dengan PHT disebut pengendalian secara multilateral, yaitu menggunakan semua metode atau teknik pengendalian yang dikenal. PHT tidak bergantung pada satu cara pengendalian tertentu, seperti memfokuskan penggunaan pestisida saja, atau penanaman varietas tahan hama saja. Melainkan semua teknik pengendalian sedapat mungkin dikombinasikan secara terpadu, dalam suatu sistem kesatuan pengelolaan. Disamping sifat dasar yang telah dikemukakan, PHT harus dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi. Dan penerapannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi mahluk berguna, hewan, dan manusia, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.

Langkah-langkah Pengembangan PHT

Pengembangan sistem PHT didasarkan pada keadaan agroekosistem setempat. Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh jadi berbeda dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan dengan keadaan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat.

Para ahli dan lembaga-lembaga internasional seperti FAO menyarankan langkah pengembangan PHT agak berbeda satu sama lain. Namun diantara saran-saran mereka banyak persamaan. Perbedaannya terutama terletak pada penekanan dan urutan-urutan langkah-langkah yang harus ditempuh.

Menurut Smith dan Apple (1978), langkah langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam pengembangan PHT adalah sebagai berikut.

Langkah 1

Mengenal Status Hama yang Dikelola

Hama-hama yang menyerang pada suatu agroekosistem, perlu dikenal dengan baik. Sifat-sifat hama perlu diketahui, meliputi perilaku hama, dinamika perkembangan populasi, tingkat kesukaan makanan, dan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Pengenalan hama dapat dilakukan melalui identifikasi dan hasil analisis status hama yang ada.

Dalam suatu agroekosistem, kelompok hama yang ada bisa dikategorikan atas hama utama, hama kadangkala (hama minor), hama potensil, hama migran dan bukan hama. Dengan mempelajari dan mengetahui status hama, dapat ditetapkan jenjang toleransi ekonomi untuk masing-masing kategori hama.

Hama utama atau hama kunci (main pest) merupakan spesies hama yang selalu menyerang pada suatu tempat, dengaan intensitas serangan yang berat dalam daerah yang luas, sehingga memerlukan usaha pengendalian. Tanpa usaha pengendalian, kelompok hama ini akan mendatangkan kerugian ekonomi bagi petani. Biasanya pada suatu agroekosistem, hanya ada satu atau dua hama utama, selebihnya termasuk dalam kategori hama yang lain. Dalam penerapan PHT sasaran yang dituju adalah menurunkan populasi hama utama.

Hama kadangkala atau hama minor (occasional pest) sering juga disebut hama kedua. Kelompok ini merupakan jenis hama yang relatif kurang penting, karena kerusakan yang diakibatkan masih dapat ditoleransikan oleh tanaman. Kadang-kadang populasinya pada suatu saat meningkat melebihi aras toleransi ekonomik tanaman. Peningkatan populasi ini mungkin disebabkan karena gangguan pada proses pengendali alami, keadaan iklim, atau kesalahan pengelolaan oleh manusia. Kelompok hama ini sering kali peka terhadap perlakuan pengendalian yang ditujukan pada hama utama. Oleh karena itu kelompok hama ini perlu diawasi, agar tidak menimbulkan apa yang disebut ledakan populasi hama kedua.

Hama potensil merupakan sebagian besar jenis serangga herbivora yang saling berkompetisi dalam memperoleh makanan. Kelompok hama ini, tidak mendatangkan kerugian yang berarti dan tidak membahayakan dalam kondisi pengelolaan agroekosistem yang normal. Namun karena kedudukannya dalam rantai makanan, populasi kelompok ini berpotensi meningkat, dan menjadi hama yang membahayakan. Hal ini sangat mungkin terjadi, terlebih akibat perubahan cara pengelolaan agroekosistem oleh manusia.

Hama migran merupakan hama yang tidak berasal i dari agroekosistem setempat. Kelompok hama ini datang dari luar, dan sifatnya berpindah-pindah (migran). Banyak serangga belalang, ulat grayak dan bangsa burung memiliki sifat demikian. Kelompok hama migran kalau datang pada suatu tempat, dapat menimbulkan kerusakan yang berarti. Tetapi hanya dalam jangka waktu yang pendek, karena akan pindah ke daerah lain.

Kecuali empat kelompok tersebut, ada beberapa pakar yang menambah satu kelompok hama lagi yaitu hama sekunder atau hama sporadis. Kelompok hama ini dalam keadaan normal, selalu dapat dikendalikan oleh musuh alaminya, sehingga tidak membahayakan. Kelompok ini baru menjadi masalah bila populasi musuh alami berkurang, karena terbunuh oleh pestisida misalnya.

Satu jenis serangga dalam kondisi tempat dan waktu tertentu dapat berubah status, misal dari hama potensil menjadi hama utama, atau dari hama utama kemudian menjadi hama minor.

Langkah 2

Mempelajari Komponen Saling Tindak dalam Ekosistem

Komponen suatu ekosistem perlu ditelaah dan dipelajari. Terutama yang mempengaruhi dinamika perkembangan populasi hama-hama utama. Termasuk dalam langkah ini, ialah menginventarisir musuh-musuh alami, sekaligus mengetahui potensi mereka sebagai pengendali alami.

Interaksi antar berbagai komponen biotis dan abiotis, dinamika populasi hama dan musuh alami, studi fenologi tanaman dan hama, studi sebaran hama dan lain-lain, merupakan bahan yang sangat diperlukan untuk menetapkan strategi pengendalian hama yang tepat.

Langkah 3

Penetapan dan Pengembangan Ambang Ekonomi

Ambang ekonomi atau ambang pengendalian sering juga diistilahkan sebagai ambang toleransi ekonomik. Ambang ini merupakan ketetapan tentang pengambilan keputusan, kapan harus dilaksanakan penggunaan pestisida. Apabila ternyata populasi atau kerusakan hama belum mencapai aras tersebut, penggunaan pestisida masih belum diperlukan.

Untuk menetapkan ambang ekonomi bukanlah pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan banyak informasi, baik data biologi dan ekologi, serta ekonomi. Penetapan kerusakan hasil dalam hubungannya dengan populasi hama, merupakan bagian yang penting dalam pengembangan ambang ekonomi. Demikian juga analisis biaya dan manfaat pengendalian, sangat perlu diketahui.

Langkah 4

Pengembangan Sistem Pengamatan dan Monitoring Hama

Untuk mengetahui padat populasi hama pada suatu waktu dan tempat, yang berkaitan terhadap ambang ekonomi hama tersebut, dibutuhkan program pengamatan atau monitoring hama secara rutin dan terorganisasi dengan baik. Metode pengambilan sampel secara benar perlu dikembangkan. Agar data lapangan yang diperoleh dapat dipercaya secara statistik, dan cara pengumpulan data mudah dikerjakan.

Jaringan dan organisasi monitoring yang merupakan salah satu bagian organisasi PHT, perlu dikembangkan agar dapat menjamin ketepatan dan kecepatan arus informasi dari lapangan ke pihak pengambil keputusan pengendalian hama dan sebaliknya.

Langkah 5.

Pengembangan Model Deskriptif dan Peramalan Hama

Dengan mengetahui gejolak populasi hama dan hubungannya dengan komponen-komponen ekosistem lainnya, maka perlu dikembangkan model kuantitatif yang dinamis. Model yang dikembangkan diharapkan mampu menggambarkan gejolak populasi dan kerusakan yang ditimbulkan pada waktu yang akan datang. Sehingga, akan dapat diperkirakan dinamika populasi, sekaligus mempertimbangkan bagaimana penanganan agar tidak sampai terjadi ledakan populasi yang merugikan secara ekonomi.

Langkah 6

Pengembangan Srategi Pengelolaan Hama

Strategi dasar PHT adalah menggunakan taktik pengendalian ganda dalam suatu kesatuan sistem yang terkordinasi. Strategi PHT mengusahakan agar populasi atau kerusakan yang ditimbulkan hama tetap berada di bawah aras toleransi manusia. Beberapa taktik dasar PHT antara lain : (1). memanfaatkan pengendalian hayati yang asli ditempat tersebut, (2). mengoptimalkan pengelolaan lingkungan melalui penerapan kultur teknik yang baik, dan (3). penggunaan pestisida secara selektif.

Srategi pengelolaan hama berdasarkan PHT, menempatkan pestisida sebagai alternatif terakhir. Pestisida digunakan, jika teknik pengendalian yang lain dianggap tidak mampu mengendalikan serangan hama.

Langkah 7

Penyuluhan Kepada Petani Agar Menerima dan Menerapkan PHT

Petani sebagai pelaksana utama pengendalian hama, perlu menyadari dan mengerti tentang cara pendekatan PHT, termasuk bagaimana menerapkannya di lapangan. Pemahaman lama secara konvensional tentang “pemberantasan” hama, perlu diganti dengan pengertian “pengendalian” atau “pengelolaan” hama. Petani perlu diberikan kepercayaan dan kemampuan untuk dapat mengamati sendiri dan melaporkan keadaan hama pada pertanamannya.









Langkah 8

Pengembangan Organisasi PHT

Sistem PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efisien dan efektif, yang dapat bekerja secara cepat dan tepat dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada agroekosistem. Organisasi tersebut tersusun oleh komponen monitoring, pengambil keputusan, program tindakan, dan penyuluhan pada petani. Organisasi PHT merupakan suatu organisasi yang mampu menyelesaikan permasalahan hama secara mandiri, pada daerah atau unit kerja yang menjadi tanggungjawabnya..

Penutup

Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia ialah intrusksi Presiden nomor 3 Tahun 1986 dan Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Dengan berdasarkan pada program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diharapkan program PHT dapat dikembangkan dan diterapkan oleh petani.

Latar Belakang



Tungau adalah salah satu binatang dari filum Arthropoda, berada satu klas dengan laba-laba. Laba-laba dalam kehidupannya bersifat sebagai predator, memangsa kelompok sendiri maupun binatang lainnya seperti serangga dan tungau. Tungau fitofag pada lahan pertanian bisa menimbulkan masalah apabila populasinya berada pada tingkat yang merugikan secara ekonomis. Salah satu spesies tungau yang saat ini menjadi hama penting di perkebunan jeruk di Jawa Barat adalah Panonychus ulmi. Serangan yang cukup parah ditemukan di daerah Garut dan Kuningan, hampir 80% tanaman terserang yang tentunya akan menurunkan produksi. Pengendalian yang dilakukan saat ini masih bertumpu pada penggunaaan akarisida. Pemanfaatan musuh-musuh alami P. ulmi untuk pengendaliannya, tampaknya masih belum mendapatkan perhatian (Dr. Abdul Muin, komunikasi pribadi)

Secara umum populasi organisme di alam berada dalam keadaan seimbang pada jenjang populasi tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan juga faktor dalam populasi sendiri, yang mengendalikan populasi tersebut. Salah satu kelompok faktor lingkungan itu adalah predator dan parasit. Tungau predator dan parasit adalah faktor penting dalam pengendalian alamiah. Tungau predator dan parasit di alam beragam jumlahnya, dan secara maksimal belum banyak dimanfaatkan.

Tungau predator pada umunya bersifat polifag dan oligofag. Spesies predator yang polifag kurang tergantung pada kerapatan hama yang bervariasi dan kurang berperan dalam pengaturan populasi seranngga hama. Tetapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sangat tinggi dan pemencarannya juga lebih cepat serta dapat berpindah ke mangsa alternatifnya apabila mangsa utama tidak ada sehingga predator polifag dan oligofag sangat baik dan menguntungkan digunakan dalam menekan hama tungau secara hayati (Huffaker dan Messenger, l989)

Dibandingkan dengan serangga hama, tungau fitofag dan tungau dan musuh-musuh alaminya masih sedikit mendapat perhatian dari para ahli. Meskipun dari segi keragaman lebih rendah dibandingkan serangga, peranan tungau dalam ekosistem tidak bisa diabaikan. Tungau menempati tingkat trofik kedua atau ketiga dalam rantai makanan. Hal ini menunjukkan pentingnya posisi tungau dalam ekosistem

Pengendalian tungau yang masih bertumpu pada penggunaan akarisida, apabila digunakan secara tidak bijaksana, disamping memerlukan dana yang tinggi, tentu akan berdampak negatif terhadap kehidupan musuh-musuh alaminya. Sejak pertengahan ke 2 dekade 9 abad lalu, dengan terbitnya INPRES No 3 Tahun l986 dan UU RI No 12 Tahun l992, maka setiap strategi pengendalian hama dan penyakit tanaman diharapkan menggunakan sistem pengendalian hama terpadu. Salah satu komponen utama PHT yaitu pengendalian hayati, baik alami maupun terapan, adalah memanfaatkan musuh-musuh alami setempat. Diharapkan pemanfaatan musuh-musuh alami ini merupakan

prioritas utama sebelum taktik pengendalian lainnya diterapkan.

Masih kurangnya informasi tentang biotaksonomi dan bioekologi tungau P. ulmi dan musuh-musuh alaminya merupakan salah satu kendala sampai saat ini belum dilakukannya pengendaaliannya secara hayati. Penelitian biotaksonomi dan bioekologi merupakan dasar yang paling utama dalam dan keberhasilan pengendalian hayati.



Keanekaragaman Musuh Alami Tungau



Ekosistem merupakan unit dasar ekologi yang didalamnya berlangsung interaksi antara komponen-komponen penyusunnya. Salah satu komponen utama yang menyusun ekosistem pertanian adalah musuh alami yang mencakup parasitoid, predator, dan patogen. Kehadiran musuh alami tersebut sangat penting guna berlangsungnya proses ekologi seperti predasi dan parasitisme yang berperan mencekal gangguan hama.

Jumlah spesies dan karakterisitik musuh alami sesuatu hama tanaman adalah sangat banyak dan beragam. Semakin mendalam penelitian yang diadakan, semakin besar keragaman yang dijumpai pada musuh-musuh alamiah. Diantara spesies tungau (Acari), terdapat banyak predator yang memangsa beraneka macam organisme kelompok sendiri atau serangga.

Huffaker dan Messenger (l989) telah menemukan enam famili tungau yang bersifat predator hama tungau Tetranychus yaitu Bdellidae, Trombidiidae, Anystidae, Erytraeidae, Stigmaeidae, dan Phytoseiidae. Pada spesies-spesies dari empat famili pertama kurang berperan dalam menurunkan populasi Tetranychus, diduga bahwa Tetranychus hanya merupakan inang alternatif, bila mangsa utama tidak didapatkan. Menurut Driesche dan Bellows (l996) setidaknya ada 27 famili tungau yang anggota-anggotanya hidup sebagi parasit dan predator, dan delapan famili diantaranya mempunyai spesies-spesies yang berpotensi dimanfaatkan sebagai agens hayati artropoda hama tanaman yaitu famili Phytoseiidae, Stigmaeidae, Anystidae, Bdeliidae, cheyletidae, Hemisarcoptidae, Laelaptidae dan Macrochelidae. Huffaker dan Messenger (l989) menyatakan bahwa famili Phytoseiidae telah mendapat perhatian yang sangat besar selama 15 tahun terakhir ini dan telah dimanfaatkan dalam pengendalian di lapangan di beberapa negara. Ditemukan sekitar 600 spesies Phytoseiidae yang terdapat pada berbagai macam tanaman dan juga terdapat pada humus atau sampah. Di Indonesia, jenis-jenis Phytoseiidae saat ini banyak mendapat perhatian, selain sebagai predator golongan Tetranychidae yang merupakan hama penting tanaman budidaya, juga memangsa banyak jenis kutu tanaman serta telur-telur trips, kupu-kupu dan ngengat. Phytoseiidae dapat bertahan hidup dengan populasi-populasi mangsa yang rendah dan dengan demikian berpotensi untuk mengatur populasi tungau pada tingkat kepadatan rendah (Kalshoven, l981).






Upaya Untuk Mendayagunakan Musuh Alami Tungau



Dari uraian di atas terlihat bahwa musuh alami tungau fitofag yang telah ada di lapang merupakan sumberdaya yang berpotensi cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengendalian secara hayati. Upaya untuk mendukung keberhasilan pengendalian tersebut adalah dengan melakukan penelitian bioekologi tungau fitofag maupun musuh-musuh alaminya. Sosromarsono dan Untung (2000) mengemukakan selain konservasi musuh alami, penelitian yang mendalam tentang bioekologi kelompok itu tidak saja pada jenjang spesies tetapi juga pada jenjang komunitas diharapkan dapat menunjang upaya konservasi dan pemanfaatan secara optimal. Penelitian tentang biotaksonomi adalah dasar yang penting dalam pengendalian hayati dan paling erat hubungannya dengan bidang lain. Eksplorasi musuh alami sangat tergantung dari data taksonomi inang atau mangsa yang ingin dikendalikan, demikian juga penentuan musuh alami yang akan digunakan. Penelitian bioologi dan ekologi baik dari musuh alami dan mangsa adalah dasar bagi pengembangan teknik penegndalian hayati yang akan dilakukan, khususnya konservasi dan augmentasi. Penelitian biologi dan ekologi spesies musuh alami diperlukan sebagai dasar pembiakan dalam jumlah besar untuk pelepasan augmentatif. Dalam hal ini khususnya predator, pengetahuan mengenai perilaku reproduksi, pemilihan inang, dan inang alternatif serta factitious host penting.

Pengelolaan agroekosistem dapat mempengaruhi keanekaragaman musuh alami dan kelimpahan atau kerapatan populasi hama. Pengelolaan ekosistem seperti aplikasi

pestisida sintetik dan pengolahan tanah yang intensif dapat menurunkan keanekaragaman spesies artropoda predator yang selanjutnya berakibat kelimpahan hama meningkat. Jika terjadi gangguan atau kerusakan di agroekosistem dapat menyebabkan antara lain penurunan keragaman spesies (misalnya artropoda predator) sehingga terjadi peningkatan dominasi spesies tertentu (misalnya hama) dan memperpendek rantai makanan karena komponen ekosistem di tingkat trofik yang lebih tinggi lebih rentan terhadap gangguan lingkungan. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami perlu dihindarai faktor-faktor yang dapat mengganggu, sedangkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan perlu dipertahankan. Kedua upaya tersebut perlu dilakukan dalam mengkonservasi musuh alami. Konservasi musuh alami pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara mengurangi faktor-faktor yang yang mengganggu keefektifan musuh alami, misalnya menghindarkan tindakan-tindakan agronomi yang dapat menurunkan kerapatan dan keanekaragaman spesies musuh alami, sedangkan menyediakan sumber daya ruang dan makanan yang dibutuhkan musuh alami dapat dilakukan dengan cara mengelola habitat dengan pendekatan ekologi lansekap (Raisser, l985).


Tujuan dari Penelitian ini adalah

a. mempelajari bioekologi tungau P. ulmi

b. eksplorasi musuh-musuh alami P. ulmi dan memepelajari bioekologinya, khususnya untuk musuh-musuh alami yang potensial.

c. melakukan konservasi usuh-musuh alami setempat









Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah



a. Dalam hubungannya dangan biekologi tungau P. ulmi



Ho : dengan mempelajari bioekologi tungau P ulmi tidak memudahkan

pengendaliannya



b. Dalam hubungannya dengan eksplorasi musu-musuh alami P. ulmi



Ho : dengan melakukan ekplorasi dan mempelajari bioekologi musuh-musuh

alami P. ulmi tidak akan mendapatkan musuh-musuh alami yang

potensian dan tidak mengetahui biologi dan perilakunya



c. Dalam hubungannya denga konservasi musuh-musuh alami P. ulmi



Ho : dengan melakukan konservasi musuh-musuh alami tungau P .ulmi,

tidak akan melestarikan populasinya




Aksiologi yang diharapkan
Dengan mengetahui bioekologi tungau P. ulmi dan musuh-musuh alaminya yang potensial dan dengan melakukan konservasi musuh-musuh alami yang ada, diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengetahuan untuk dapat dilaksanakannya pengendalian hayati yang merupakan bagian dari program pengendalian hama secara terpadu Dengan demikian ketergantungan terhadap akarisida menjadi berkurang, dan hal ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan mengatasi permasalahan hama yang ada.


Rencana Peneltian

Mengacu pada tujuan penelitian, rencana penelitian yang akan dilakukan adalah melakukan pengamatan terhadap bioekologi tungau P. ulmi di laboratorium. Eksplorasi musuh-musuh alami yang ada di Jawa Barat, dan mengamati bioekologi musuh-musuh alami yang potensial, serta melakukan konservasi dengan praktek budidaya yang menunjang kelestariannya.

tips

on 04 Oktober 2009

1. Siapkan secawan bawang merah dan sebutir telur ayam.
2. Tumbuk bawang merah sampai halus, ambil kuning telur ayam, satukan dengan bawang merah tadi.
3. Aduk dan kocok sampai rata dalam gelas.
4. Minumlah ramuan alami ini tiap pagi.

on 12 Agustus 2009

In physical geography, tundra is a biome where the tree growth is hindered by low temperatures and short growing seasons. The term tundra comes from Kildin Sami tūndâr, which means "uplands, treeless mountain tract."[1] There are two types of tundra: Arctic tundra (which also occurs in Antarctica) and alpine tundra.[2] In tundra, the vegetation is composed of dwarf shrubs, sedges and grasses, mosses, and lichens. Scattered trees grow in some tundra. The ecotone (or ecological boundary region) between the tundra and the forest is known as the tree line or timberline.
Contents
[hide]

* 1 Arctic tundra
* 2 Antarctic tundra
* 3 Alpine tundra
* 4 Climatic classification
* 5 See also
* 6 References
* 7 External links

Arctic tundra
Map of arctic tundra
Tundra in Greenland

Arctic tundra occurs in the far Northern Hemisphere, north of the taiga belt. The word "tundra" usually refers only to the areas where the subsoil is permafrost, or permanently frozen soil. (It may also refer to the treeless plain in general, so that northern Sápmi would be included.) Permafrost tundra includes vast areas of northern Russia and Canada.[2] The polar tundra is home to several peoples who are mostly nomadic reindeer herders, such as the Nganasan and Nenets in the permafrost area (and the Sami in Sápmi).

The Arctic tundra is a vast area of stark landscape and is frozen for much of the year. The soil there is frozen from 25–90 cm (9.8–35.4 inches) down, and it is impossible for trees to grow. Instead, bare and sometimes rocky land can only support low growing plants such as moss, heath, and lichen. There are two main seasons, winter and summer, in the polar tundra areas. During the winter it is very cold and dark, with the average temperature around −28 °C (−18.4 °F), sometimes dipping as low as −50 °C (−58.0 °F). However, extreme cold temperatures on the tundra do not drop as low as those experienced in taiga areas further south (for example, Russia's and Canada's lowest temperatures were recorded in locations south of the tree line). During the summer, temperatures rise somewhat, and the top layer of the permafrost melts, leaving the ground very soggy. The tundra is covered in marshes, lakes, bogs and streams during the warm months. Generally daytime temperatures during the summer rise to about 12 °C (54 °F) but can often drop to 3 °C (37 °F) or even below freezing. Arctic tundras are sometimes the subject of habitat conservation programs. In Canada and Russia, many of these areas are protected through a national Biodiversity Action Plan.

The tundra is a very windy area, with winds often blowing upwards of 48–97 km/h (30–60 miles an hour). However, in terms of precipitation, it is desert-like, with only about 15–25 cm (6–10 inches) falling per year (the summer is typically the season of maximum precipitation). During the summer, the permafrost thaws just enough to let plants grow and reproduce, but because the ground below this is frozen, the water cannot sink any lower, and so the water forms the lakes and marshes found during the summer months. Although precipitation is light, evaporation is also relatively minimal.

The biodiversity of the tundras is low: 1,700 species of vascular plants and only 48 land mammals can be found, although thousands of insects and birds migrate there each year for the marshes. There are also a few fish species such as the flat fish. There are few species with large populations. Notable animals in the Arctic tundra include caribou (reindeer), musk ox, arctic hare, arctic fox, snowy owl, lemmings, and polar bears (only the extreme north).[3]

Due to the harsh climate of the Arctic tundra, regions of this kind have seen little human activity, even though they are sometimes rich in natural resources such as oil and uranium. In recent times this has begun to change in Alaska, Russia, and some other parts of the world.

A severe threat to the tundras, specifically to the permafrost, is global warming. The melting of the permafrost in a given area on human time scales (decades or centuries) could radically change which species can survive there.[4]

Another concern is that about one third of the world's soil-bound carbon is in taiga and tundra areas. When the permafrost melts, it releases carbon in the form of carbon dioxide, a greenhouse gas. The effect has been observed in Alaska. In the 1970s the tundra was a carbon sink, but today, it is a carbon source.[5]

Antarctic tundra
Tundra on the Péninsule Rallier du Baty, Kerguelen Islands.

Antarctic tundra occurs on Antarctica and on several Antarctic and subantarctic islands, including South Georgia and the South Sandwich Islands and the Kerguelen Islands. Antarctica is mostly too cold and dry to support vegetation, and most of the continent is covered by ice fields. However, some portions of the continent, particularly the Antarctic Peninsula, have areas of rocky soil that support plant life. The flora presently consists of around 300–400 lichens, 100 mosses, 25 liverworts, and around 700 terrestrial and aquatic algae species, which live on the areas of exposed rock and soil around the shore of the continent. Antarctica's two flowering plant species, the Antarctic hair grass (Deschampsia Antarctica) and Antarctic pearlwort (Colobanthus quitensis), are found on the northern and western parts of the Antarctic Peninsula[6]

In contrast with the Arctic tundra, the Antarctic tundra lacks a large mammal fauna, mostly due to its physical isolation from the other continents. Sea mammals and sea birds, including seals and penguins, inhabit areas near the shore, and some small mammals, like rabbits and cats, have been introduced by humans to some of the subantarctic islands. The Antipodes Subantarctic Islands tundra ecoregion includes the Bounty Islands, Auckland Islands, Antipodes Islands, the Campbell Island group, and Macquarie Island.

The flora and fauna of Antarctica and the Antarctic Islands (south of 60° south latitude) are protected by the Antarctic Treaty.[7]

Tundra also occurs on Tierra del Fuego and southern Argentina.[8][dubious – discuss] Notable plant and lichen species of this tundra include Neuropogon aurantiaco, Azorella lycopodioides, Marsippospermum reichei, Nardophyllum bryoides, and Bolax gummifera.

Alpine tundra
Hikers traversing the Franconia Ridge in the White Mountains, much of which is in the alpine zone.

Alpine tundra is an ecozone that does not contain trees because it has high altitude. Alpine tundra occurs at high enough altitude at any latitude on Earth. Alpine tundra also lacks trees, but the lower part does not have permafrost, and alpine soils are generally better drained than permafrost soils. Alpine tundra transitions to subalpine forests below the tree line; stunted forests occurring at the forest-tundra ecotone are known as Krummholz. Alpine tundra occurs in an alpine zone.

Alpine tundra does not map directly to specific World Wide Fund for Nature ecoregions. Portions of Montane grasslands and shrublands ecoregions include alpine tundra.

Because alpine tundra is located in various widely-separated regions of the Earth, there is no animal species common to all areas of alpine tundra. Some animals of alpine tundra environments include the Kea parrot, marmot, Mountain goats, chinchilla, and pika.

Large sections of the Tibetan Plateau include alpine tundra.

See also: Tree line

on 30 Mei 2009

(Em) (G) (Dsus2) (Asus2) (Em)
I walk a lonely road, the only one that I have ever known
(G) (Dsus2) (Asus2) (Em)
Don't know where it goes, But it's home to me and I walk alone

(Em)(G)(Dsus2)(Asus2)



(Em) (G) (Dsus2) (Asus2) (Em)
I walk this empty street, On the Boulevard of broken dreams
(G) (Dsus2) (Asus2) (Em)
Where the city sleeps, And I'm the only one and I walk alone



(Em)(G)(Dsus2) (Asus2) (Em)
I walk alone, I walk alone.
(Em)(G)(Dsus2) (Asus2)
I walk alone, I walk a....


(C) (G) (Dsus2) (Asus2)
My shadow's the only one that walks beside me
(C) (G) (Dsus2) (Asus2)
My shallow hearts the only thing that's beating
(C) (G) (Dsus2) (Asus2)
Sometimes I wish someone out there will find me
(C) (G) (E/D)
Till then I walk alone


(Em) (G) (Dsus2) (Asus2)
Ah-Ah Ah-Ah Ah-Ah Ahhh-Ah
(Em) (G) (Dsus2) (Asus2)
haaa-ah Ah-Ah Ah-Ah Ah-Ah



(Repeat chord patterns for the rest of the song.)



I'm walking down the line
That divides me somewhere in my mind
On the border line of the edge
And where I walk alone

Read between the lines
What's fucked up and everything's all right
Check my vital signs, to know I'm still alive
And I walk alone

I walk alone, I walk alone
I walk alone, I walk a....

My shadow's the only one that walks beside me
My shallow heart's the only thing that's beating
Sometimes I wish someone out there will find me
Till then I walk alone

Ah-Ah Ah-Ah Ah-Ah Ahhh-Ah
Ah-Ah Ah-Ah I walk alone, I walk a....

SOLO
Rhythm - (C)(G)(Dsus2)(Em) x3
(C)(G)(E/D)


I walk this empty street
On the Boulevard of broken dreams
Where the city sleeps
And I'm the only one and I walk a...,

My shadow's the only one that walks beside me
My shallow heart's the only thing that's beating
Sometimes I wish someone out there will find me
Till then I walk alone

Outro - (Em)(C)(Dsus2)(A/G)(G)(A/Ab) x4

dhoom

on 29 Mei 2009

Dhoom Dhoom come and light my fire
Dhoom Dhoom let me take you higher
Dhoom Dhoom I wanna feel that burnin',
Dhoom Dhoom it's a wild emotion
Dhoom Dhoom passion and devotion,
Dhoom Dhoom now the wheels are turnin'.

Move your body close to mine now,
Let me feel your love and divine now,
Together we'll explode and we'll go boom boom boom boom.

Dhoom machale Dhoom machale Dhoom, (dhoom dhoom)
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom,
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom,
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom.

Dhoom Dhoom i'm gonna make you sweat now,
Dhoom Dhoom let's get all wet now
Dhoom Dhoom gotta get down on it.

Dhoom Dhoom till the early mornin'
Dhoom Dhoom until silver dawnin'
Dhoom Dhoom I know that you want it.

Shake your body down to the ground,
Once you go there's no turnin' round
Tonight we're gonna make the world go boom boom boom boom.

Dhoom machale Dhoom machale Dhoom,
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom,
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom,
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom.

(Dance with me, dance with me
This is my philosophy
Dance with me Dance with meoh yeah)

This burnin' inside
You know you just cannot hide,
So don't fight the feeling let your body decide
When you get down on the road,
It's a wild overload
Ridin' higher than you ever did before.

Dhoom Dhoom let your body do the talkin'
Dhoom Dhoom I wanna keep on rockin',
Dhoom Dhoom I want it twenty four seven
Dhoom Dhoom get the rhythm of the beat now,
Dhoom Dhoom feel the fire and the heat now
Dhoom Dhoom take a trip to heaven,
I wanna feel the wind in my hair now
Spread the power, everywhere now,
Feel the magic just go zip zap zoom!!!

Dhoom machale...come on all you people

Dhoom machale Dhoom machale Dhoom,
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom,
Dhoom machale Dhoom machale Dhoom.

on 27 Mei 2009

Trisula
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Trisula, Burma,Abad ke 18

Trisula atau trishula adalah tombak bermata tiga, berasal dari bahasa sansekerta trishul secara harfiah berarti tiga tombak. Juga disebut trident dalam bahasa Inggris. Trisula juga digunakan oleh retarii, gladiator dengan penampilan seperti nelayan (membawa jaring).

Trisula saat ini sering diasosiasikan dengan setan oleh mitologi Kristen. Ini kemungkinan karena penggunaannya dalam agama pagan. Trisula adalah senjata Siwa, salah satu dari Trimurti yang sering disembah di masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Begitu pula dalam agama pagan Yunani-Romawi Poseidon(Neptunus) dewa peguasa laut selalu membawa trident. Poseidon adalah dewa utama, dan mungkin lebih utama dibanding Zeus di kebudayaan Myceneae.

Trisula juga digunakan sebagai senjata utama oleh tentara Korea masa lalu, berbeda dengan tentara Tiongkok saat itu yang menggunakan tombak dengan mata berbentuk daun.

Dalam tradisi spiritual Hindu trisula adalah simbol mata ketiga.

on 12 Maret 2009

Pulang
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 4 out of 5)
Loading ... Loading ...

Intro: C

C G Am
di tepi kota ini
F Em Dm
ku merasa sangat sepi
F G C B Am
berdiri di atas karang
F G C
ku kenang wajahmu
C G Am
berikan aku waktu
F Em Dm
‘tuk berlabuh ke pelukmu
F G C B Am
sadarkan semua niatmu
F G C
dan jangan tinggalkan aku
Ab Bb
jangan tinggalkan

C
aku ingin pulang
Am
aku ingin pulang
F
berikan doamu
G C
agar aku pulang
C
aku ingin pulang
Am
aku ingin pulang
F
berikan sayapmu
G C
agar aku pulang

C G Am
aku ingin cepat pulang
F Em Dm
aku ingin cepat pulang
F G C
berikan sedikit waktumu
F G C
untuk tetap menunggu
Ab Bb
tetap menunggu

Int: C Em Am G F Ab

C
aku ingin pulang
Am
aku ingin pulang
F
berikan doamu
G C
agar aku pulang
C
aku ingin pulang
Am
ingin cepat pulang
F
berikan sayapmu
G Ab Bb C Ab Bb C
agar aku pu-lang.. pulang.. lang

Int: C F Am G C

C
baby you said your all that i need
F
baby you said you make me complete
Am
just come back home
G C
just come back home to me
Am
just come back home
G C

Pulang
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 4 out of 5)
Loading ... Loading ...

Intro: C

C G Am
di tepi kota ini
F Em Dm
ku merasa sangat sepi
F G C B Am
berdiri di atas karang
F G C
ku kenang wajahmu
C G Am
berikan aku waktu
F Em Dm
‘tuk berlabuh ke pelukmu
F G C B Am
sadarkan semua niatmu
F G C
dan jangan tinggalkan aku
Ab Bb
jangan tinggalkan

C
aku ingin pulang
Am
aku ingin pulang
F
berikan doamu
G C
agar aku pulang
C
aku ingin pulang
Am
aku ingin pulang
F
berikan sayapmu
G C
agar aku pulang

C G Am
aku ingin cepat pulang
F Em Dm
aku ingin cepat pulang
F G C
berikan sedikit waktumu
F G C
untuk tetap menunggu
Ab Bb
tetap menunggu

Int: C Em Am G F Ab

C
aku ingin pulang
Am
aku ingin pulang
F
berikan doamu
G C
agar aku pulang
C
aku ingin pulang
Am
ingin cepat pulang
F
berikan sayapmu
G Ab Bb C Ab Bb C
agar aku pu-lang.. pulang.. lang

Int: C F Am G C

C
baby you said your all that i need
F
baby you said you make me complete
Am
just come back home
G C
just come back home to me
Am
just come back home
G C

Suara (Ku Berharap)
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (122 votes, average: 4.27 out of 5)
Loading ... Loading ...

Intro : D Bm G A

D
Disini aku masih sendiri
Bm
Merenungi hari-hari sepi
G
Aku tanpamu
A
Masih tanpamu

D
Bila esok hari datang lagi
Bm
Ku coba untuk hadapi semua ini
G Em D
Meski tanpamu meski tanpamu

Bm F#m Em
Bila aku dapat bintang yang berpijar
Bm F#m Em
Mentari yang tenang bersamaku disini
Bm F#m Em
Ku dapat tertawa menangis merenung
Bm A
Di tempat ini aku bertahan

Reff :
D Bm
Suara dengarkanlah aku
G D/F# Em
Apa kabarnya pujaan hatiku
A Bm
Aku di sini menunggunya
G F#m Em A
Masih berharap di dalam hatinya

D Bm
Suara dengarkanlah aku
G D/F# Em
Apakah aku slalu dihatinya
A Bm
Aku di sini menunggunya
G F#m Em A
Masih berharap di dalam hatinya

D
Kalau ku masih tetap disini
Bm
Ku lewati semua yang terjadi
G F#m Em
Aku menunggumu
D
Aku menunggu

Interlude : Bm A G D A G
Em F#m G A

D Bm
Suara dengarkanlah aku
G D/F# Em
Apa kabarnya pujaan hatiku
A Bm
Aku di sini menunggunya
G F#m Em A
Masih berharap di dalam hatinya

D Bm
Suara dengarkanlah aku
G D/F# Em
Apakah aku slalu dihatinya
A Bm
Aku di sini menunggunya
G F#m Em A
Masih berharap di dalam hatinya