on 19 Oktober 2009

Latar Belakang



Tungau adalah salah satu binatang dari filum Arthropoda, berada satu klas dengan laba-laba. Laba-laba dalam kehidupannya bersifat sebagai predator, memangsa kelompok sendiri maupun binatang lainnya seperti serangga dan tungau. Tungau fitofag pada lahan pertanian bisa menimbulkan masalah apabila populasinya berada pada tingkat yang merugikan secara ekonomis. Salah satu spesies tungau yang saat ini menjadi hama penting di perkebunan jeruk di Jawa Barat adalah Panonychus ulmi. Serangan yang cukup parah ditemukan di daerah Garut dan Kuningan, hampir 80% tanaman terserang yang tentunya akan menurunkan produksi. Pengendalian yang dilakukan saat ini masih bertumpu pada penggunaaan akarisida. Pemanfaatan musuh-musuh alami P. ulmi untuk pengendaliannya, tampaknya masih belum mendapatkan perhatian (Dr. Abdul Muin, komunikasi pribadi)

Secara umum populasi organisme di alam berada dalam keadaan seimbang pada jenjang populasi tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan juga faktor dalam populasi sendiri, yang mengendalikan populasi tersebut. Salah satu kelompok faktor lingkungan itu adalah predator dan parasit. Tungau predator dan parasit adalah faktor penting dalam pengendalian alamiah. Tungau predator dan parasit di alam beragam jumlahnya, dan secara maksimal belum banyak dimanfaatkan.

Tungau predator pada umunya bersifat polifag dan oligofag. Spesies predator yang polifag kurang tergantung pada kerapatan hama yang bervariasi dan kurang berperan dalam pengaturan populasi seranngga hama. Tetapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sangat tinggi dan pemencarannya juga lebih cepat serta dapat berpindah ke mangsa alternatifnya apabila mangsa utama tidak ada sehingga predator polifag dan oligofag sangat baik dan menguntungkan digunakan dalam menekan hama tungau secara hayati (Huffaker dan Messenger, l989)

Dibandingkan dengan serangga hama, tungau fitofag dan tungau dan musuh-musuh alaminya masih sedikit mendapat perhatian dari para ahli. Meskipun dari segi keragaman lebih rendah dibandingkan serangga, peranan tungau dalam ekosistem tidak bisa diabaikan. Tungau menempati tingkat trofik kedua atau ketiga dalam rantai makanan. Hal ini menunjukkan pentingnya posisi tungau dalam ekosistem

Pengendalian tungau yang masih bertumpu pada penggunaan akarisida, apabila digunakan secara tidak bijaksana, disamping memerlukan dana yang tinggi, tentu akan berdampak negatif terhadap kehidupan musuh-musuh alaminya. Sejak pertengahan ke 2 dekade 9 abad lalu, dengan terbitnya INPRES No 3 Tahun l986 dan UU RI No 12 Tahun l992, maka setiap strategi pengendalian hama dan penyakit tanaman diharapkan menggunakan sistem pengendalian hama terpadu. Salah satu komponen utama PHT yaitu pengendalian hayati, baik alami maupun terapan, adalah memanfaatkan musuh-musuh alami setempat. Diharapkan pemanfaatan musuh-musuh alami ini merupakan

prioritas utama sebelum taktik pengendalian lainnya diterapkan.

Masih kurangnya informasi tentang biotaksonomi dan bioekologi tungau P. ulmi dan musuh-musuh alaminya merupakan salah satu kendala sampai saat ini belum dilakukannya pengendaaliannya secara hayati. Penelitian biotaksonomi dan bioekologi merupakan dasar yang paling utama dalam dan keberhasilan pengendalian hayati.



Keanekaragaman Musuh Alami Tungau



Ekosistem merupakan unit dasar ekologi yang didalamnya berlangsung interaksi antara komponen-komponen penyusunnya. Salah satu komponen utama yang menyusun ekosistem pertanian adalah musuh alami yang mencakup parasitoid, predator, dan patogen. Kehadiran musuh alami tersebut sangat penting guna berlangsungnya proses ekologi seperti predasi dan parasitisme yang berperan mencekal gangguan hama.

Jumlah spesies dan karakterisitik musuh alami sesuatu hama tanaman adalah sangat banyak dan beragam. Semakin mendalam penelitian yang diadakan, semakin besar keragaman yang dijumpai pada musuh-musuh alamiah. Diantara spesies tungau (Acari), terdapat banyak predator yang memangsa beraneka macam organisme kelompok sendiri atau serangga.

Huffaker dan Messenger (l989) telah menemukan enam famili tungau yang bersifat predator hama tungau Tetranychus yaitu Bdellidae, Trombidiidae, Anystidae, Erytraeidae, Stigmaeidae, dan Phytoseiidae. Pada spesies-spesies dari empat famili pertama kurang berperan dalam menurunkan populasi Tetranychus, diduga bahwa Tetranychus hanya merupakan inang alternatif, bila mangsa utama tidak didapatkan. Menurut Driesche dan Bellows (l996) setidaknya ada 27 famili tungau yang anggota-anggotanya hidup sebagi parasit dan predator, dan delapan famili diantaranya mempunyai spesies-spesies yang berpotensi dimanfaatkan sebagai agens hayati artropoda hama tanaman yaitu famili Phytoseiidae, Stigmaeidae, Anystidae, Bdeliidae, cheyletidae, Hemisarcoptidae, Laelaptidae dan Macrochelidae. Huffaker dan Messenger (l989) menyatakan bahwa famili Phytoseiidae telah mendapat perhatian yang sangat besar selama 15 tahun terakhir ini dan telah dimanfaatkan dalam pengendalian di lapangan di beberapa negara. Ditemukan sekitar 600 spesies Phytoseiidae yang terdapat pada berbagai macam tanaman dan juga terdapat pada humus atau sampah. Di Indonesia, jenis-jenis Phytoseiidae saat ini banyak mendapat perhatian, selain sebagai predator golongan Tetranychidae yang merupakan hama penting tanaman budidaya, juga memangsa banyak jenis kutu tanaman serta telur-telur trips, kupu-kupu dan ngengat. Phytoseiidae dapat bertahan hidup dengan populasi-populasi mangsa yang rendah dan dengan demikian berpotensi untuk mengatur populasi tungau pada tingkat kepadatan rendah (Kalshoven, l981).






Upaya Untuk Mendayagunakan Musuh Alami Tungau



Dari uraian di atas terlihat bahwa musuh alami tungau fitofag yang telah ada di lapang merupakan sumberdaya yang berpotensi cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengendalian secara hayati. Upaya untuk mendukung keberhasilan pengendalian tersebut adalah dengan melakukan penelitian bioekologi tungau fitofag maupun musuh-musuh alaminya. Sosromarsono dan Untung (2000) mengemukakan selain konservasi musuh alami, penelitian yang mendalam tentang bioekologi kelompok itu tidak saja pada jenjang spesies tetapi juga pada jenjang komunitas diharapkan dapat menunjang upaya konservasi dan pemanfaatan secara optimal. Penelitian tentang biotaksonomi adalah dasar yang penting dalam pengendalian hayati dan paling erat hubungannya dengan bidang lain. Eksplorasi musuh alami sangat tergantung dari data taksonomi inang atau mangsa yang ingin dikendalikan, demikian juga penentuan musuh alami yang akan digunakan. Penelitian bioologi dan ekologi baik dari musuh alami dan mangsa adalah dasar bagi pengembangan teknik penegndalian hayati yang akan dilakukan, khususnya konservasi dan augmentasi. Penelitian biologi dan ekologi spesies musuh alami diperlukan sebagai dasar pembiakan dalam jumlah besar untuk pelepasan augmentatif. Dalam hal ini khususnya predator, pengetahuan mengenai perilaku reproduksi, pemilihan inang, dan inang alternatif serta factitious host penting.

Pengelolaan agroekosistem dapat mempengaruhi keanekaragaman musuh alami dan kelimpahan atau kerapatan populasi hama. Pengelolaan ekosistem seperti aplikasi

pestisida sintetik dan pengolahan tanah yang intensif dapat menurunkan keanekaragaman spesies artropoda predator yang selanjutnya berakibat kelimpahan hama meningkat. Jika terjadi gangguan atau kerusakan di agroekosistem dapat menyebabkan antara lain penurunan keragaman spesies (misalnya artropoda predator) sehingga terjadi peningkatan dominasi spesies tertentu (misalnya hama) dan memperpendek rantai makanan karena komponen ekosistem di tingkat trofik yang lebih tinggi lebih rentan terhadap gangguan lingkungan. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami perlu dihindarai faktor-faktor yang dapat mengganggu, sedangkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan perlu dipertahankan. Kedua upaya tersebut perlu dilakukan dalam mengkonservasi musuh alami. Konservasi musuh alami pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara mengurangi faktor-faktor yang yang mengganggu keefektifan musuh alami, misalnya menghindarkan tindakan-tindakan agronomi yang dapat menurunkan kerapatan dan keanekaragaman spesies musuh alami, sedangkan menyediakan sumber daya ruang dan makanan yang dibutuhkan musuh alami dapat dilakukan dengan cara mengelola habitat dengan pendekatan ekologi lansekap (Raisser, l985).


Tujuan dari Penelitian ini adalah

a. mempelajari bioekologi tungau P. ulmi

b. eksplorasi musuh-musuh alami P. ulmi dan memepelajari bioekologinya, khususnya untuk musuh-musuh alami yang potensial.

c. melakukan konservasi usuh-musuh alami setempat









Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah



a. Dalam hubungannya dangan biekologi tungau P. ulmi



Ho : dengan mempelajari bioekologi tungau P ulmi tidak memudahkan

pengendaliannya



b. Dalam hubungannya dengan eksplorasi musu-musuh alami P. ulmi



Ho : dengan melakukan ekplorasi dan mempelajari bioekologi musuh-musuh

alami P. ulmi tidak akan mendapatkan musuh-musuh alami yang

potensian dan tidak mengetahui biologi dan perilakunya



c. Dalam hubungannya denga konservasi musuh-musuh alami P. ulmi



Ho : dengan melakukan konservasi musuh-musuh alami tungau P .ulmi,

tidak akan melestarikan populasinya




Aksiologi yang diharapkan
Dengan mengetahui bioekologi tungau P. ulmi dan musuh-musuh alaminya yang potensial dan dengan melakukan konservasi musuh-musuh alami yang ada, diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengetahuan untuk dapat dilaksanakannya pengendalian hayati yang merupakan bagian dari program pengendalian hama secara terpadu Dengan demikian ketergantungan terhadap akarisida menjadi berkurang, dan hal ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan mengatasi permasalahan hama yang ada.


Rencana Peneltian

Mengacu pada tujuan penelitian, rencana penelitian yang akan dilakukan adalah melakukan pengamatan terhadap bioekologi tungau P. ulmi di laboratorium. Eksplorasi musuh-musuh alami yang ada di Jawa Barat, dan mengamati bioekologi musuh-musuh alami yang potensial, serta melakukan konservasi dengan praktek budidaya yang menunjang kelestariannya.

0 komentar:

Posting Komentar